Catatan

Terinjak-injak Nyali

Tentang warna putih pudar
Mencari jalan keluar
Tidak ubahnya berlari menghindar
Mati pun sukar, tak ingin dia dibakar

***

Kau membunuhku dengan masa lalu
Menggerogoti otak hingga botak
Membiarkan terkapar dibawa arus sungai
Menyerbakkan bau busuk 

Tetapi.. 

Aku masih menginjak bumi
Dan akan terus menginjak-injak bumi
Sampai seluruh tubuh membiru nyeri

Sampai kakiku lumpuh tak bisa berdiri

(Belitong, 4 Maret 2020)

*******************************************

Tundukan Tajam Di Tepian Jalan

Diantara keramaian peluh mengeluh
Menggenangkan setitik kecemasan tentang hidup

Berhenti seperti anjloknya lubang di dataran
Sang cahaya redup menyaksikan 
Detik-detik jatuhnya tetesan

Airmata..

Menunduk tajam
Serasa sendiri di dunia ini

Perutnya bergelut
Tenggorokannya mengering
Kakinya mulai lumpuh
Matanya berkaca-kaca
Wajahnya pucat
Pandangannya kosong
Pikirannya melayang
Hatinya melalu lalang

Ketika ludah menjadi minuman
Ketika keringat berkucuran
Ketika itu angin dimakan

Ketika bau menjadi aroma
Ketika sisa menyegala
Ketika itu dia masih manusia

(Stasiun Lenteng Agung, 23 Agustus 2014)

*******************************************

Lalang


Pembatas hitam melingkari cermin
Mengkilat
Goresan ulah si pembawa amarah

Tak layak..

Mengekang berbagai pikiran
Masih saja berlalu lintas
Tumpukan asap membakar air hujan
Percuma saja dilakukan

Padahal suara itu terus melangkah
Sepeninggalan arah yang mengacu pada ruang mewah

Membaurkan gemuruh dari kejauhan
Menyilang
Berpindah tempat tak bergerak
Lalu berdiri setengah angkuh

Seakan-akan matahari menghampiri malam
Percikan air merusak dinding pendengaran
Yang saat itu orang berlalu lalang

(Stasiun Bogor, 16 Agustus 2014)

*******************************************