Tujuh Tahun Berlalu
Hari ini adalah hari rabu, kami duduk bersandar pada dinding ditemani segelas kopi seperti biasanya. Ada angka "11" didepan kami yang menempel pada pintu berwarna cokelat namun tidak ada manis-manisnya. Pintu tersebut dalam keadaan terbuka, mempersilakan siapapun dan apapun memasuki ruangan didalamnya. Desain pintu dan seluruh bangunan ini memang tampak tua, ada kayu yang mulai tergorok, ada coretan yang tak beraturan, ada gorden tertutup yang asal menjadi penutup, tidak ada seni disini. Jendela pun sama, hanya kayu dan kaca serta besi yang menjadi kunci. Kami pikir ditonjok saja bisa langsung pecah (semoga maling tak berpikir hal yang sama).
Beberapa jam lalu kami berjalan sekitar 50-100 meter melewati bangunan-bangunan dan berhenti juga didepan sebuah bangunan, kami bilang "Assalamualaikum". Namun tidak ada yang menjawab, kami pun balik badan dan kembali ke tempat asal kami. Lalu kami bertemu debu, kami bunuh semua karena mengganggu, setelah itu kami injak-injak dan kami duduki. Kemudian kami membawa sebuah wadah yang terbuat dari beling, membawa api dan membawa bungkusan berisi seperti kumpulan rotan. Kami juga membawa buku yang tak kami baca seluruhnya. Selang puluhan menit kami melakukan hal yang sama; berjalan kaki lagi. Namun kali kedua kami tampak bodoh karena tidak berkata apapun, melihat makhluk lain hidup dan berjalan seperti yang kami lakukan, kami enggan bertemu sesama. Akhirnya kami kembali ke tempat semula tanpa melakukan apa-apa.
Disinilah kami mulai berkelana, kami sering melakukan hal semacamnya. Akan tetapi kali ini mungkin berbeda karena secara teknis wujud atau raga kami tetap berada di bangunan ini. "Tarik napas, kita akan kembali ke tahun-tahun lampau melewati tahun-tahun yang belum dilalui." salah satu dari kami berbicara dalam hati.
Ada lubang berukuran kecil di sudut ruang, mungkin tikus bisa masuk dan keluar semaunya dan kami akan membunuh tikus dengan menjadi bagian dari makanannya. Tapi itu nanti, masih menjadi rencana kami. Saat ini kami berhasil masuk ke sebuah tempat, udaranya lumayan tebal, tidak ada pembatas sejauh kami memandang. Tak perlu kami namai tempat ini karena hanya ada gelap, gelap dan gelap.
Kami duduk, kami berdiri, kami berjalan, kami berlari, dalam perasaan yang sama dan yang kami rasakan juga sama. Tidak ada perbedaan, begitu adil. Kami memanggil beberapa teman lama, sebut saja Bu Endah dan Bu Ratna. Jumlah kami sekarang ada empat, sebenarnya kami ingin lebih ramai lagi untuk merayakan perasaan ini. Namun jika memanggil Kedung dan Nirwana, percuma. Mereka sudah menjadi raja dan ratu di sebuah desa yang entah desa apa namanya. Nirbaya pun sibuk menjadi prajurit, terakhir kabar yang kami dengar dia sedang mempersiapkan perang. Bukan perang saudara atau perang dunia, perang ini lebih dahsyat katanya. Dia menceritakan beberapa senjata yang tak pernah kami bayangkan, seandainya kami bisa meminta salah satunya pasti mampu menghancurkan seribu surat yang terpisah hanya dalam waktu satu detik saja. Tak hanya kertas dan tulisannya, senjata itu juga akan mampu menghancurkan ingatan kami yang lemah.
Kami membuat sebuah lingkaran dengan cara menyambungkan ujung tangan kami berempat, Bu Endah sempat tidak sepakat karena harus menyentuh kami, namun Bu Ratna berhasil membujuk dan meyakinkannya bahwa kami adalah makhluk yang sama, tak berguna menjadi berbeda. Kami tersenyum melihat pertemuan mata, kami juga menangis melihat air mata. Kebanyakan dari kami tertawa hingga tak terasa sudah tiga tahun kami melakukannya.
Empat tahun kemudian kami masing-masing menjadi makhluk yang tak lagi bernafas, hidup dengan angin yang digerakkan oleh zat lain. Menjadi udara, menjadi warna, menjadi hasrat yang tak pernah terlihat. Kami merasakan dingin, kami merasakan panas, kami ketakutan karena merasa menjadi sesuatu yang sangat berbeda. Sesuatu yang tak pernah diciptakan oleh Sang Pencipta. Kami membuat onar, kami membuat kekacauan pada diri makhluk yang merasa bahwa kesepian adalah teman dalam kuburan. Mereka lemah, kami memanfaatkan kelemahannya. Kesepian mereka kami buat menjadi indah, merasuki pikiran dan melekat di setiap aliran darah. Kami merencanakan pembunuhan untuk menunjukkan bukti kepada mereka, agar mereka melihat apa sebenarnya yang akan terjadi setelah mati. Kami merasa hidup setelah menjadi diri kami yang lain. Kami sangat menikmati kekerasan, kekejaman, pembalasan, dendam dan hal-hal lain yang berhasil menghidupkan kami.
Komentar
Posting Komentar