Wajah Oriental di Balik Kelir Biru (Babak Keempat)

Sukamantri, Tamansari - Bogor

Babak Keempat - Tenang, ini bukan sebuah perlawanan. Saat paragraf ini ditulis, setidaknya ada dentingan piano Maxence Cyrin yang mengiringi suasana dalam pikiran, mengatur nafas yang tidak biasa karena dinamika. Pergerakannya yang berwarna memaksa tubuh mengalami lumpuh sementara. Kadang lambat, menjatuhkan diri ke dasar dengan perlahan seakan memuai, memperluas pandangan kabur yang semakin kecil. Kadang cepat, menarik diri ke luar dengan kuat dan lentur, menjangkau ketinggian yang semakin tak tercapai.

Raga ini dibawanya sembunyi, merasa tak akan sanggup tenggelam dalam air atau terbakar oleh api, lalu terbelenggu dibalik topeng atau kedok berwarna langit yang tidak berawan. Dia melemah ketika suara-suara yang seharusnya dijaga malah terbang liar kemana-mana, terdengar sampai sudut kota, inginnya mematikan pancaindera namun belum siap menerima resikonya. Jika hanya satu atau dua, mungkin yang lainnya akan marah dan malah menegangkan suasana. 

Sirkulasi pun tampaknya sedang tidak lancar, sudah coba berbicara pada kardio dan vaskular namun katanya tetap harus menghadap akar, menjadi budak berbadan kekar. Negosiasi dilakukan bertubi-tubi hanya untuk memastikan kondisi yang terlihat masih layak dan utuh, sebagian yang tidak terlihat dibiarkannya tumbuh. 

Tahu tidak? Kami berdua kali ini akan berkelahi dengan sistem yang berbeda. Bukan pertama namun menjadi hal baru, dimana kunci menjadi saksi ketika kiblatnya muncul lambang dan tanda menggunakan teori semiotika. Ironi, dia memanipulasi dan mematahkan teori. Di balik semua jejak yang ditinggalkan, ada jejak lain mengikuti, seperti roh yang tidak berjasad namun berpikiran dan berperasaan. Tak perlu dijelaskan karena rincian sudah tertuang sebelumnya mulai dari rambut, dahi,  alis, mata, hidung serta bibir. Kami akan bulatkan kepala dan telinga, membenturkannya pada dinding paling kuat di Batavia lalu memecahkan perlahan sampai tulangnya bersuara. Terlampau hirau? Tidak juga, masih akan ada kelanjutannya.


(Untukmu, wajah yang sebenarnya sudah tertulis namun belum berhasil terlukis, jemari ini masih mencari lambang dan tanda, kanvas terbaiknya biasa saja. Teruslah tersenyum, karena salah satu keahlianku adalah membiarkan waktu berlalu).


***

Komentar