Rumah Sakit (Babak Terakhir)

(Paragraf ini tertulis di KRL Bogor menuju Jatinegara, di TransJakarta, di Batavia dan di sebuah ruang kedap suara. Sejalan waktu tempuh, sesuai tempat yang tergolong utuh).

 


Babak Terakhir - Kondisi langit setengah gelap setengah terang, suara yang terdengar hanyalah gemuruh kereta diselingi announcement dan lagu beserta iklan yang diputar didalamnya. Sedang sendiri? Tentu saja tidak, banyak orang di kereta dengan masing-masing tujuan dan keperluan. Banyak jenis alas kaki yang mereka gunakan, banyak gaya berpakaian yang mereka kenakan, banyak macam raut wajah yang mereka tampilkan. 

Kami berdua (saya dan yang mengaku sebagai diri saya yang lain) akhirnya menikmati perjalanan, dari yang tersingkat sampai yang memakan waktu bertahun-tahun untuk berjabat. Tidak ada yang terjadi diantara kami selain tumbuh, menjadi pembunuh. Perjalanan di kereta hanyalah sebagian kecil yang kami habiskan berdua. Duduk atau berdiri sama saja perasaannya : kadang saling butuh, kadang saling membunuh. 

Entah kenapa ada moment kami tiba-tiba memandang satu sama lain. Tidak ada cermin, tidak ada kafein, tidak ada nikotin. Seakan merelaksasi apa yang sudah terjadi dan yang sedang kami rasakan saat ini. Selain berjabat, kami juga sempat berpeluk erat. Ternyata memahami kebebalan diri itu sulit, belum lagi menghadapi lawan seperti mereka yang lebih pandai berpura-pura. Tak perlu kami jelaskan kondisi penglihatan yang memburam karena cairan yang sama-sama kami keluarkan. Struktur lapisan luar kulit pun tegak berdiri, bukan merinding yang kesannya takut atau ngeri.

Tentang dia, orang ketiga diantara kami berdua. Di titik ini kami kebingungan memilih kata karena terlalu banyak yang harus disampaikan, sampai-sampai kami harus berkelahi dulu untuk berkata setuju, lalu harus ada salah satu yang rela berbagi warna di atas kanvas berlapis candaan dan kesungguhan. Dia menari bebas dengan anggun, keindahan yang melekat di dalam dirinya membuat kami tertegun. Ketika energi kami habis, dia menyerap aura hanya dengan tersenyum lalu menjadikan kami seperti pantai yang terkikis oleh gerakan air yang naik-turun. Jika dilihat, letaknya ternyata lebih dalam dari yang kami perkirakan, tidak ada yang cukup mampu mengukur kedalamannya karena untuk menyelam saja tidak memungkinkan, kami berdua sama-sama tidak bisa berenang. 

Dia bukanlah makhluk yang kami takuti. Jauh sebelum tercipta wujudnya, ada hasrat yang melintas diantara bercak amarah, berlalu seiring berjalannya waktu, melenyapkan kerikil kecil yang bercampur dengan pasir. Perasaan ini megah, jika berkunjung mungkin butuh berminggu-minggu hanya untuk sekedar mengelilinginya. Di setiap ruangan ada lukisan terpampang, lukisan wajah yang tak terjangkau dalam bentuk rajutan benang, dengan tiang kokoh dan cahaya yang penuh dengan doa. Bukan doa yang kami baca setiap hari, bukan doa yang mereka lantangkan setiap petang, doa ini tak terucap, berasal dari makhluk penuh khilaf. 

Berkelahi adalah cara kami berbagi, menuangkan sesuatu yang tidak terlihat wujudnya di tempat ramai atau sepi, menjadi naif bukan menjadi berarti. Sangat jelas sepertinya apa yang sudah disampaikan, akan tetapi masih saja timbul pertanyaan, masih saja muncul kemungkinan-kemungkinan. Padahal salah satu dari kami sudah memberanikan diri, bahkan terlalu berani menurut saya pribadi. Beruntungnya, kami amat sangat mengenal satu sama lain. Bisa lebih mengerti dan bisa lebih merasa hidup setelah mati. 

Akhirnya apa? Biarkan dia terbang atau berenang tenggelam. Percayalah, rasa syukur dan senang tidak selalu berada di permukaan, tidak melulu menggantung di tempat yang tinggi, adakalanya berada jauh di kedalaman. Kami tidak berteman dengan kesimpulan, kami tidak mengenal tahap penghabisan.


***

🔎 Babak Pertama - Babak Kedua - Babak Ketiga - Babak Keempat - Babak Terakhir

🔎 Jeda Ekstra 

Komentar