Yang Tertulis (Babak Kedua)
Hutan Mati Gunung Papandayan |
Kepada
Yang bernyawa,
Babak Kedua - Sebelum kusampaikan beberapa hal yang perlu kau tahu, akan kujelaskan aroma sehelai daun yang terlampir.
Jadi, daun ini sudah tak lagi sedap selama 2 bulan terakhir. Akan tetapi, aromanya tidak sirna bahkan mungkin tak bisa hilang sama sekali. Tak perlu kau cium lengan bagian dalam karena sepertinya dia bukan aroma yang kau mau, bukan pula harum yang kau tunggu. Dia beraroma aneh, ada orang bilang seperti obat atau udara yang biasa berlalu lintas di rumah sakit. Jika berhasil terbang dari ketinggian seratus meter tampaknya akan tenang, jika mengendus dari jarak sepuluh meter bisa saja bulu hidungmu berkembang, dengan atau tanpa tujuan.
Dia adalah makhluk yang tak lagi bernyawa, paling pas untuk dijadikan gambaran ketika kita bosan dengan yang namanya penjelasan. Warna daunnya memang sudah menguning, tak lagi indah ketika mereka memuja dan menjadikannya tempat untuk bernafas, berteduh serta bergantung pada kecepatan angin. Perlu kau tahu, dia hidup di hidupmu! Mereka yang semakin acuh tak acuh nyatanya lebih peduli pada ruang-ruang yang menyediakan ketenangan sendiri, dari dalam perutnya meluap hasrat untuk saling meludahi.
Diantara mereka itu dia bergairah, mengutuk warna yang dulu dia anggap mewah dan megah. Semakin hari semakin kuat saja. Kuceritakan sedikit ya, dulu dia berjalan pun susah, apalagi berlari, bisa terinjak-injak lagi seperti peristiwa kelam di beberapa tahun silam. Kini sudah menjadi lain, daun ini bukan sisa sampah yang beraroma serakah.
Dia akan menjadikanmu lebih dari sekedar makhluk yang bernyawa, bukan karena kekagumannya, tapi karena ketidakpedulian yang dia jaga untuk memberikan kesempatan hidup dan mati menjadi satu dimensi. Tak perlu mencari dan menentukan dimana titik koordinatnya, dia akan membuat garis lurus sendiri, bahkan dia akan membuat kubus yang tak punya ruang untuk kembali.
Komentar
Posting Komentar