Biasa Saja (Babak Pertama)
Tumbuh, tumbuhan di puncak Gunung Pangrango |
"Aku mengagumimu, kuharap suatu saat kau akan mengerti bahwa yang kulakukan selama ini adalah caraku untuk membahagiakan rasa itu. Tentunya dengan kebahagiaanmu didalamnya."
Babak Pertama - Mengutip perkataan waktu dulu, selepas lulus SMU. Ternyata kalimat terakhirnya kurang enak, terkesan memaksa, cenderung egois karena kita belum tentu bisa berada di dalam semua situasi. Tapi hari ini, tanggal 24 April 2021 yang jatuh pada hari Sabtu aku tidak akan sibuk dengan kalimat terakhirnya itu, tidak pula akan berdebat.
Aku akan menulis surat, didalamnya aku selipkan satu helai daun yang jatuh di pinggiran jalan, tepatnya di Jl. K. H. Mas Mansyur, Karet Tengsin, Jakarta Pusat. Daunnya tidak istimewa, seperti helaian daun lain yang jatuh di sekitar trotoar, bahkan agak bau aromanya karena dekat sampah. Daun ini pun akan menjadi sampah pada akhirnya. Terlihat berantakan? Tidak juga, ada petugas kebersihan yang rutin membersihkan. Aku berkali-kali melewati mereka yang berserakan, sampai-sampai bisa membedakan mana daun yang baru jatuh dan mana yang sudah lama jatuh, aku juga mengenal daun yang sudah jatuh kemudian terinjak lalu bernafas lagi setelah terinjak-injak.
Suratnya akan berisi beberapa hal yang harus diketahui oleh seorang makhluk, dimana aku dan dzat-dzat yang lain seringkali bertengkar, hanya karena tidak mau kalah dan harus selalu di posisi yang benar. Dari berat pundak ketika bangun tidur, dia memindahkan pundak yang lain untuk meringankan beban, seolah bahu dan pundak berbeda, sibuk mencari ketinggian yang sama. Dari lemah bahuku ketika beranjak tidur, dia menenangkan dengan lirih seakan otakku dipaksa untuk melupakan apa yang akan terjadi esok hari.
"Biasa saja", itu yang yang akan kusampaikan pada semua makhluk walaupun nada atau intonasinya berbeda, sangat tidak terlihat kejelasannya. Sengaja, caraku menjawab pertanyaan dari dzat-dzat lain memang seperti itu, semu. Banyak caraku yang lain untuk mematahkan leher mereka yang sudah terlalu banyak bertanya. Akan tetapi, percuma. Mereka malah akan semakin hidup dengan energi yang terkuras dari sisa tenagaku. Kamu, bukan energi lain yang bisa kuhirup atau kumakan karena kita berbeda dimensi. Aku mengagumimu tanpa ragu, sudah bulat terlihat wujudnya, tidak mudah menciptakan dimensi dengan akal tanpa naluri.
Caraku menikmati setiap langkah kaki di pagi hari hanyalah apresiasi dari masa lalu yang sepi akan kepedulian. Berlomba lebih pagi lagi, setiap hari. Bayangkan, setiap hari tanpa energi, bukan lemah tapi malah tak kenal apa itu lelah.
Lagu yang selalu kudengar sebagai pengiring tidaklah penting, mereka hanya akan menjadi pendamping. Bukan untuk hidupku yang sebentar, tapi untuk membahagiakan rasa itu yang suka berkelakar. Damai, seolah biasa saja seperti biasa.
Ya, akan kusampaikan hal yang memang harus disampaikan. Sisanya? Biarkan dimensi lain hidup dari kematian-kematian rasa yang sudah pernah dilaluinya. Aku tidak bisa bersyukur lebih dari apa yang kurasakan saat ini.
***
🔎 Babak Pertama - Babak Kedua - Babak Ketiga - Babak Keempat - Babak Terakhir
Komentar
Posting Komentar